Tragedi Al-Khoziny : Bangunan Pesantren Tanpa PBG

Tragedi Runtuhnya Bangunan Pesantren : Pelajaran Berharga Tentang Pentingnya PBG dan Perencanaan Bangunan.


Peristiwa runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, menjadi pengingat keras bagi kita semua bahwa keselamatan konstruksi bukan hal yang bisa diabaikan. Mushola yang sedang dalam tahap pengecoran ambruk ketika para santri tengah menunaikan salat Asar. Dalam sekejap, struktur yang belum sepenuhnya siap menelan korban jiwa dan meninggalkan duka mendalam bagi banyak keluarga.


Tragedi ini mengungkap persoalan serius di balik banyaknya bangunan di Indonesia yang dibangun tanpa izin resmi atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Padahal, PBG bukan sekadar formalitas administratif. Dokumen ini memastikan bahwa suatu bangunan telah melalui pemeriksaan teknis — mulai dari struktur, keamanan, hingga keselamatan penghuni. Tanpa adanya PBG, tidak ada jaminan bahwa proses pembangunan memenuhi standar keselamatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Dari hasil pengamatan dan pemberitaan, kegagalan struktur diyakini menjadi penyebab utama ambruknya mushola tersebut. Beban cor yang terlalu berat atau ketidakseimbangan distribusi beban mempercepat keruntuhan. Beberapa saksi juga mengungkapkan bahwa sebelumnya telah muncul retakan pada bagian bangunan, namun tanda bahaya itu tidak segera ditangani. Inilah bukti nyata bahwa pengawasan teknis yang lemah dapat berujung pada bencana.

Ironisnya, banyak pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia yang masih membangun fasilitas tanpa izin PBG. Alasannya beragam — dari keterbatasan biaya, kurangnya informasi, hingga anggapan bahwa bangunan di lingkungan pesantren tidak perlu izin seperti bangunan komersial. Padahal, aturan mengenai PBG berlaku untuk semua jenis bangunan, baik rumah tinggal, gedung usaha, maupun fasilitas pendidikan dan ibadah.

Setelah tragedi Al-Khoziny, pemerintah daerah bersama instansi terkait menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap standar bangunan di pesantren. Namun, langkah paling penting sebenarnya dimulai dari kesadaran para pengelola pesantren itu sendiri. Mengurus PBG bukan sekadar memenuhi aturan, melainkan bentuk tanggung jawab moral untuk melindungi santri dan masyarakat dari bahaya bangunan yang tidak aman.

Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi kita semua untuk menegakkan disiplin dalam pembangunan. Setiap proyek, sekecil apa pun, harus melalui proses perencanaan, pengawasan, dan perizinan yang benar. Jangan sampai semangat membangun tempat ibadah atau lembaga pendidikan justru berujung pada kehilangan nyawa karena kelalaian teknis.

Pertanyaannya, akankah kita benar-benar belajar dari tragedi ini?
Atau membiarkan kejadian serupa terulang kembali di tempat lain?

Keselamatan harus menjadi prioritas utama dalam setiap pembangunan. Dengan memiliki PBG, memastikan perencanaan teknis yang sesuai standar, dan melibatkan tenaga ahli bersertifikat, kita bisa mencegah tragedi serupa terjadi lagi. Tragedi Al-Khoziny bukan sekadar kabar duka — tetapi peringatan nyata agar setiap bangunan berdiri di atas dasar keselamatan dan tanggung jawab.

Slider Parnert

logo ptsp
logo simbg
logo simbg
logo iai
logo pbg
logo slf

Subscribe Text

Dapatkan Promo Sekarang Juga